Jumat, 02 Desember 2016

Mbok YEM

Baru saja aku selesai membaca salah satu cerita pendeknya Abah Mus di buku kumpulan cerpen beliau ‘lukisan kaligrafi’, judulnya “mbok Yem”. Kalo dalam cerita itu adalah kisah Mbak Yem dan Mbah Joyo, kali ini adalah cerita Mbok yem dan Mbah Mar.
Pasangan yang satu ini sangat berbeda karakternya. Yang satu keras, yang satu lembek. Yang satu romantis, yang satu realistis. Yang satu tenang, yang satu lagi gegabah.. hemm.. tapi inilah pernikahan. Menyatukan dua karakter yang berbeda agar bisa ‘kawin’ dan saling mengerti. Bukankah di balik sampul buku nikah kita terdapat nashihat untuk kedua mempelai yang didahului dengan ayat alqur’an “wa’aasyiruuhunna bil ma’ruuf..” yang maksudnya ‘pergaulilah mereka (istri-istrimu) itu dengan baik (saling mengerti). ‘ma’ruf’ artinya bukan hanya baik, tetapi juga saling mengerti dan pengertian. Kita tidak akan menyerah pada hal yang paling dibenci Allah kan hanya karena karakter yang berbeda dengan pasangan kita?? Na’udzubillah min dzalik..
Suatu cerita ketika mereka berdua sedang terpisahkan karena mbah Mar ada tugas di luar. Percakapan mereka via sms
Mbah Mar : Mbok…
Mbok Yem : ya sayang…
(mbok Yem selalu sok romantis kepada suaminya yang bisa dibilang cuek bebek itu)
Mbah Mar : kok mbok nggak pernah memberi ucapan “selamat puasa pak..”, atau mengingatkan aku “udah shalat belum pak?”
Mbok yem : (menarik napas panjang) hemmm… sayang pengen kaya gitu to?
Mbah Mar : ya iya.. kan itu wujud perhatian istri kepada suami. Ya kan mbok?
Mbok Yem : iya mbah.. itu benar.. itu ndak salah. Tapi ini lho alasanku kenapa aku memilihmu menjadi imamku, kenapa aku mentap hidup bersamamu. Karena aku tahu dan yaqin, bahwa engkau mengerti syari’at dan tidak akan melupakannya. Apalagi shalat itu adalah ibadhah mahdhoh yang pastinya sudah melekat di hatimu.. aku yakin engkau tidak akan lupa atau menyengaja lupa agar diingatkan. Aku tahu itu mbah.. njenengan tidak perlu khawatir perhatianku akan berpaling. Seluruh perhatian lahir batinku hanya untukmu, hanya saja mungkin tidak semua harus ditampakkan. Ini caraku, mbah..
Mboh Mar : hm.. :’) (terharu)

Mbah MAR

Dia tak pernah berpenampilan syar’i (memakai sarung, baju muslim dan berpeci) sehari-harinya, tidak pernah. Hanya saat-saat tertentu saja. Ketika shalat saja dia seringnya ya pakai pakaian yang dikenakannya itu kalo memang masih bersih dan suci. Kaos pendek kemudian ditahan dengan sarung. Ya begitu itu dia. Tidak pernah aneh-aneh. Warna gelap kesukaannya. Hampir semua baju (baca:kaos) nya berwarna gelap, hitam. Bertumpuk-tumpuk pakaiannya, tapi aku hanya menemukan beberapa kemeja atau baju resmi, non-kaos. Selebihnya kaos semua, yang dia pakai juga itu ituuu saja.
Tapi dibalik itu semua, aku selalu melihat dia yang tidak pernah melalaikan syari’atnya, meskipun dia tidak pernah memperlihatkan ke-syar’i-annya. Ilmul hal (baca: Fiqh) bekal dari keluarga dan kiainya selalu dia terapkan dalam hari-harinya. Mulai dari thaharah (bersuci), ibadah juga mu’amalah. Dia tidak pernah melupakannya. Memang tidak dipungkiri manusia itu tidak sempurna, terkadang khilaf atau lupa, tapi dia tidak pernah melupakannya.
Sambil membayangkan gaya suamiku yang sedang jauh. Rindu.
Ramadhan 1435 H
***




















Sudah lelap wajah mungil di sampingku. Pandanganku menelusuri liku-liku wajahnya yang serupa dengan ayahnya. Menatapnya seakan aku melihat suamiku. Matanya, bibirnya semuanya! Aku rindu.
Juli 2015